Jumat, Mei 22, 2009

Ketika Aku Memilih Untuk Diam



Akhirnya hujan itu turun juga setelah akhir sore menjelang. Kelabunya mendung sedari pagi tak jua menumpah hingga beban itu akhirnya turun juga. Deras sekali dan sepertinya akan lama. Mungkin karena begitu banyaknya uap air yang tertahan ditumpukan awan beberapa hari ini, karena memang akhir-akhir ini panas begitu menghujam, dan menyebabkan penguapan juga semakin tinggi..walah aku malah bercerita mengenai siklus hidrologi. :)

Begitu memandangi hujan, perasaan hati ku juga berganti. Selalu seperti ini. Entah kenapa. Tapi memang beberapa hari belakangan ini gundahku sedang melanda. Banyak hal dalam hidup yang harus aku hadapi. Perasaan sensitifku kembali memuncak. Setiap perkataan orang, seolah2 adalah ejekan dan sindiran. Perasaan sendiri dan menyepi kembali menggelayuti. Kesendirian menurutku terasa lebih indah daripada harus berada diantara orang-orang dan tertawa bersama-sama. Karena kalaupun aku bisa tertawa, itu hanya sementara, karena masalahku takkan selesai dengan tertawa. Aku hanya minta orang lain mengerti akan keadaanku. Aku tidak meminta mereka menghiburku dan bernyanyi untukku, tapi hanya memahami apa yang aku rasakan saat ini. Bila tiba waktunya aku akan bercerita. Itupun kalau mereka ingin mendengarkan. Aku hanya butuh mereka mendengarkan. Aku takkan membebani mereka dengan solusi apa yang terbaik untuk menyelesaikan masalahku. Bukannya angkuh, tak mau mendengar komentar dan pendapat orang lain, tapi aku ingin menyelesaikan masalahku sendiri.

Kekecewaan pernah menghujani perasaan kita bukan? Itu yang pernah aku alami ketika suatu kali atau beberapa kali mencoba terbuka dengan orang lain. Bercerita tentang apa mau kehendak dan masalahku. Aku bercerita hanya ingin mereka mendengarkan, tapi bukannya mengasihaniku dan menyudutkanku. Tapi apa yang aku terima? Aku langsung disudutkan dengan mengatakan bahwa permasalahanku adalah permasalahan kecil, dan menyudutkanku dengan mengatakan bahwa aku tak mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan untukku…ya Rabb…tak pernah terlintas dalam fikiranku untuk menghujamMu dengan mengkufuri nikmat yang Engkau berikan.

Aku tersudut, mulutku bungkam, ubun-ubunku berdenyut-denyut menahan emosi yang bergejolak dalam hatiku. Hatiku pias, tubuhku serasa rubuh tak terkendali. Aku mencoba mengukur diri, apakah setiap kawan yang datang padaku dengan permasalahanya aku bersikap tak peduli pada mereka? Ku rasa tidak, kubiarkan mereka bercerita dan menumpahkan kesalnya padaku. Aku memang tidak memberikan apa-apa untuk menyelesaikan permasalahan mereka, tapi aku hanya bisa menjadi tempat bercerita menumpahkan semua kegalauan hati bagi mereka. Kuulurkan tangan bahwa aku ada disampingnya dia, kuberikan senyuman untuk menguatkannya. Dan itu juga yang hanya aku butuhkan jika aku berada di liku hidup seperti mereka.

Tapi sepertinya Tuhan memang menghendaki aku hanya menjadi tempat ’sampah’ bagi kawan2ku, dan Tuhan menginginkanku untuk menyelesaikan permasalahanku sendiri. Mungkin Tuhan cemburu jika aku menceritakan ini kepada yang lain. Dia hanya ingin aku bercerita kepadaNya. Mungkin disitu kuncinya jika aku harus menjadi introvert seperti ini. Memang mungkin hanya kepadaNya mengadukan semua kesah, dan hanya kepadaNya semua permohonan terucap. Semoga mentariku akan kembali bersinar setelah hujan ini deras tertumpah dihadapan Rabb. Hanya itu yang aku inginkan menjalankan hidup ini dengan ridhoNya.

Sudahlah, ini sudah berkesah namanya. Hujan tak deras lagi dan hanya menyisakan rintiknya. Malam kan mulai menjelang dan menutup mendungnya lagit. Berharap kelabunya hati juga akan tertupi dengan bersinarnya bintang-bintang di langit malam…