Sabtu, Juni 18, 2011

Jumat, Juni 03, 2011

Read me, please!

 
pict from google


G memasukkan gulungan kertas itu ke dalam botol bekas air mineral. Meniru laku tokoh dalam “Message in the Bottle”, G berharap botol itu akan membawa segala resahnya. G menarik nafas berat. Tapi hembusannya tetap saja terkalahkan oleh angin pantai yang membelai lembut jilbab putih G. Jingganya langit menandakan sebentar lagi azan maghrib berkumandang, belum juga membuat G beranjak pulang. 

Pelan, G menghanyutkan botol, mendorongnya agar ikut terbawa ombak ke tengah laut. Botol menari-nari dibawa gulungan ombak. G terpaku lama memandangi. Tak sadar kaki celananya basah terkena pecahan ombak yang menyapu bibir pantai. G tak menghiraukan panggilan Va di kejauhan. Va terpaksa menyusul dan menarik tangan G agar menepi ke pantai. G kaget tapi menurut.

                “Kamu mo bunuh diri?”, maki Va begitu keduanya sudah agak menepi ke pantai.
                “Apaan sih, Va. Ya ga lah, masa berdiri disitu aja mo bunuh diri sih,”ujar G membela diri.
                “Gelagatnya seperti itu,” jawab Va sewot
G nyengir.
                “Emangnya kalo kamu hanyutkan surat itu, Han bakalan baca?”, tanya Va
Alis G bertaut menatap Va,”Yee…siapa bilang surat itu buat Han?”
Va mencibir, “Yee juga…jangan bohong deh, G. Aku tahu kalo surat itu buat Han. Iya kan?”
G melengah sembari berjalan menyisiri bibir pantai, “Ga kok. Kamu sok tahu…”
Va mendengus,’dasar keras kepala’, batin Va. Tak urung diikutinya langkah G.

Beberapa menit selanjutnya keduanya sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. G melepaskan pandangannya ke segala penjuru pantai. Menikmati hembusan angin laut yang menyejukkan gundah hatinya. Va memperhatikan gerak gerik G. Ia tahu G lagi galau dan separuh mati ia mencoba untuk peduli, G bersikap sok tak butuh perhatian. Tapi itu takkan lama. Lihat saja, sebentar lagi kegundahannya itu akan mengalir. Hanya Va yang bisa memancing G untuk  bercerita.

                “G..capek ah jalan-jalan mulu. Duduk yuk…”, rengek Va
G tersenyum, “Yuk, dimana?”
Va menunjuk tumpukan batuan besar penghalang ombak. Dalam sekejap keduanya sudah menemukan tempat yang pas untuk duduk di atas batuan penghalang ombak itu. Percikan pecahan ombak yang membentur batu kadang mengenai wajah mereka.

                “G...”
                “Ya?”, G mengerling
                “Kamu tulis nama ga di surat kamu tadi?”, selidik Va
                “Ya G aja”
                “Kenapa bukan Gilian? Ato lebih lengkap Gilian Aurelia?”
Alis G bertaut menatap Va, “Kenapa ga sekalian aja tulis alamat lengkap aku”
Va terkikih, “Ya… kalo secara ga sengaja Han juga ke pantai trus nemuin botol dan surat kamu, kan dia jadi tahu kalo surat itu dari kamu buat dia”
                “Dari sekian banyak pengunjung pantai kenapa harus dia sih?”, elak G
“Kan surat itu memang buat dia, kan? Kenapa berharap orang lain yang menemukannya? Kenapa ga berharap Han langsung yang menemukannya?”
“Aku lelah berharap, Va”
Pancingan Va mulai mengeliat. Umpan sudah termakan sepertinya. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menarik pancing.
“Aku ga ingin perasaan itu berlama-lama lagi di hatiku, Va. Aku ingin dia pergi jika memang semuanya itu hanya harapan kosong belaka. Mudah-mudahan semakin jauh botol itu dibawa ombak semakin jauh pula perasaan itu pergi dari hati aku. Kalaupun suatu saat ia ditemukan orang, mungkin hanya akan dibuang lagi lama-lama dia akan hancur sendiri dan hilang tak berbekas. Aku ingin seperti itu.”
“G, setahu aku semakin dibunuh rasa itu ia akan semakin erat mencengkram hatimu. Semakin kuat kamu ingin mengenyahkan sosok Han, semakin kuat pula hatimu akan menahan Han .Kenapa tidak berharap Han yang menemukannya? Biarkan ia tahu apa sesungguhnya yang kamu inginkan darinya. Tanyakan padanya, G!”
G terdiam.
“G, mungkin saat itu Han belum berani untuk mengungkapkan. Takut akan sebuah penolakan itu wajar G.”
“Aku harus bagaimana lagi untuk bersikap, Va, hingga ia begitu takut aku akan menolak. Bukan begitu ceritanya. Ia tak pernah mengharapkanku. Hanya sekedar bermain-main dengan tipe wanita penyendiri seperti aku. Itu yang sebenarnya.”
“Itu hanya anggapanmu, G.”
G menatap Va memohon, “Va, sudah ya…aku tidak ingin bercerita lagi. Bantu aku melupakan.”
                “Huufff… Itu takkan mudah, G.”
Va tersenyum memberi kekuatan. G juga ikut tersenyum, tapi hanya bibirnya, hatinya ingin meneriakan suatu harapan. Harapan baru yang coba dibangunnya dengan mengobati rasa hati.

Senja mulai merata menjingga. Sayup lantunan azan terdengar syahdu. Keduanya berasak meninggalkan pantai. Berjalan pulang untuk memenuhi panggilan Rabb untuk menghadap. Untuk mencurahkan segala galau jiwa dan gulana. Karena memang hanya Dia yang mengerti umatNya.

*sebuah file usang