Senin, Februari 28, 2011

Ceracauan Daun Disisa Rintik Hujan

Pic from here

Selembar daun terangguk meneteskan air yang melorot di ujung lancipnya. Warna hijaunya terlihat lebih cerah dan segar. Tetes terakhir diujung daunnya itu menyisakan tanya dalam benakku, ‘apakah aku masih perlu duduk disini menanti walau hujan masih menyisakan rintiknya?’ 

‘tidak’, katanya,’pergilah cepat, sebab hujan kan kembali datang dengan derasnya’

Tapi aku khawatir bagaimana dengannya, apakah ia masih kuat menahan tamparan hujan? Dan dengan gagah ia menjawab,’aku sudah terbiasa menjadi bulan-bulanan air curah itu, jangan khawatirkan aku, pergilah’. Aku masih membangkang tetap berdiri disana dan mengatakan kalau aku juga tak takut dengan air curah itu, walau deras sekalipun. Tapi dengan tersenyum sinis ia mengejekku bahwa aku takkan bisa sekuat dirinya.

Ejekannya membuat mataku melotot menatapnya. Batang pohonnya memang kokoh, tapi ia hanya selembar daun yang tak lebih besar dari tapak tanganku. Tangkai daunnya seratus kali lebih kecil dari jari kelingkingku, dan dengan sekali jentik aku bisa menerbangkan tubuh tipisnya melayang-layang ke udara kemudian terhempas ke tanah. Bagaimana pula ia bisa mengecekku kalau ia lebih kuat dariku, tak seujung kukupun.

Bibir tipisnya kembali tersenyum mengejek di ujung  lancipnya,’kau manusia yang terombang-ambing oleh rasa. Hanya tergores sedikit, tangismu mengalahkan derasnya hujan di siang tadi. Aku dan saudara-saudaraku serta teman-temanku tak lemah sepertimu. Kami memang kecil dimatamu yang  kau pandang rapuh dan lemah, tapi lihatlah kulit-kulit kami, lihatlah warna di sekujur tubuh kami, berkilau terkena sinar matahari walau hujan telah menampar-nampar kami semalaman dan kami terombang-ambing oleh terjangan angin dan badai. Karenanya, kami lebih kuat darimu…’

Pongah sekali tingkahnya. Diliuk-liukannya badan mungilnya dan tertawa-tawa kecil. Saudara dan teman-temannya disekelilingkupun ikut tertawa membenarkan perkataan daun sombong itu. Kusepakkkan kaki ke batang pohonnya dan kulayangkan hantaman ke dahan yang menaunginya. Mereka bergoyang tapi kembali meliuk hingga tanganku hanya menampar angin dan tawa mereka semakin keras dan memekakkan telingaku.

Tiba-tiba rintik hujan menetes tepat mengenai hidungku. Dan dalam sekejap pasukannya menyergapku dari atas langit. Aku berlari menepi mencari tempat berteduh dan merapat ke batang pohonnya. Sayup diantara irama hujan aku masih mendengar tawa mereka di atas, dan teriakan si daun sombong itu,’apa kubilang, kami lebih kuat darimu.’ Aku hanya menunduk dalam, merangkul erat kedua lenganku untuk menahan dingin dan menggigilnya badanku. Mereka terus tertawa, lebih kencang dari irama hujan di sore itu.

*ketika hujan enggan berasak dari kota Padang



Jumat, Februari 25, 2011

Pahit




“ …*****..”

Setiap kali mengingat kata 'bintang'mu di pertengkaran terakhir kita
Setiap kali itu pula aku harus mereguk pahitnya kopi hitam tak bergula itu

Bukan
Bukan airnya lagi
Tapi sudah ampas pekat di dasar cangkirnya




Rabu, Februari 16, 2011

Ujung Sebuah Titik



Dan ia
menggelinding
Terjun terus ke bawah
Terikut arus gravitasi
Terhenyak
Terhempas
Terombang ambing

Dan aku
Disini memandangi
Hanya memandangi di bawah rintik hujan membasahi

Ia semakin melaju
Tanpa bisa aku hentikan
Ia semakin terlihat kecil dan samar dari pandanganku
Terus bergerak dengan gelinciran
Layaknya pada sebuah perosotan licin dan panjang

Dan aku
Disini memandangi
Hanya memandangi
Sampai ia hilang
Bahkan sampai aku menyadari
Bahwa sudah saatnya aku berbalik
Dan melangkah kembali




Selasa, Februari 08, 2011

Senyummu Doaku


             

‘Hey, ada apa ini?’

Aku tergopoh-gopoh berjalan ketika ia menarik tanganku. Dia hanya tersenyum sambil terus berlari tak mempedulikan ceracauanku. Ilalang-ilalang berdaun tajam di kiri dan kanan pematang cukup tinggi sehingga menjulur dan menghalangi kakiku melangkah di tengah kegelapan malam. Tapi ia seolah tak mempedulikan makianku begitu kakiku tersandung ilalang-ilalang liar itu. Ia terus menarik tanganku untuk ikut berlari mengikutinya.

            ‘Hey, malam baru saja menjelang. Kita tak perlu terburu-buru menemui bulan. Hey,,berhentilah dulu, kakiku sakit terkena ilalang-ilalang liar ini. Heeeyy,,,,’

Dan ia terus berlari tanpa sedikitpun menoleh untuk melihat luka di kakiku. Aku bersungut-sungut dibelakangnya.

Begitu sampai di pondok rahasia, ia melepaskan pegangannya dan menyuruhku duduk. Mukaku masih cemberut dengan bibir mengerucut. Aku lelah dan kakiku perih. Ia memandangiku tersenyum. Senyumnya membuatku semakin mengerucutkan bibir. Aku kesal padanya. Tapi, melihat senyumnya seperti itu…. Huff….

Dia menatapku dengan masih tersenyum, ‘kenapa masih cemberut?’

Aku merungut,’kakiku sakit’

Ia berjongkok duduk dihadapanku,’mana sini aku lihat’

Dengan cepat aku menyurukkan kakiku yang tergores ilalang sebelum tangannya menggapai kakiku.

            ‘Bagaimana aku bisa tahu kalau kakimu terluka kalau disembunyikan seperti itu. Sini,,,’

            “Ga usah.  Udah ga papa’

Ia tidak memaksa dan kemudian berdiri mengeluarkan saputangannya. Disodorkannya kehadapanku,
            ‘Lap lukamu, akan kucarikan daun singkong untuk mengobatinya. Tunggu disini ya…’

Aku hanya diam memandanginya. Ia berasak ke semak-semak. Begitu ia menghilang di tengah kegelapan malam, aku terpaku menatap saputangannya. Kuulurkan selendangku untuk melap luka-luka di kakiku. Sementara tanganku yang satu lagi tetap menggenggam saputangan yang diberikannya.

Tak berapa lama, sayup terdengar suara langkah kaki mendekat. Ia kembali. Kedua tangannya penuh dengan tentengan. Tangan kanannya memegang beberapa batang tangkai daun singkong dan tangan kirinya menyeret umbinya. Ia seperti orang pulang memanen dari kebun singkong. Ia tersenyum gembira begitu melihatku. Aku juga jadi tersenyum melihatnya seperti itu.

            ‘Sudah kau lap lukamu?’, tanyanya begitu sudah didekatku

Kembali kusurukkan kakiku dan mengangguk menjawab pertanyaannya. Setelah anggukanku meyakinkan hatinya, ia berasak menumbuk daun-daun singkong yang dibawanya tadi. Aku hanya memandanginya dari jauh. Dan lagi-lagi ia masih tersenyum melakukan itu. Aku terlarut dalam hentakan tangannya memegang batu menghaluskan daun-daun singkong itu. Seketika ia mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku tergagap begitu pandangan mata kami bertemu. Ia tergelak melihatku terkejut. Aku kembali mengerucutkan bibirku.

Ia kembali menghampiriku begitu ‘obat racikan’nya telah selesai.
            ‘Mana kakimu yang luka itu?’

Aku mengulurkan tanganku, ‘biar aku yang pakaikan sendiri. Sini obatnya..’

Ia meletakkan obat racikannya ke telapak tanganku kemudian berbalik mengumpulkan ranting-ranting kering disekitar pondok. Sepertinya ia ingin membuat unggun. Aku hanya memperhatikannya sibuk sendiri menyalakan api. Begitu aku selesai menutupi luka-lukaku dengan ‘obat racikan’nya, ia juga sudah berhasil membuat unggun yang cukup besar dan terang. Ia menoleh ke arahku dengan senyum bangganya. Aku membalas untuk berterima kasih, karena unggunnya cukup memberi hangat. Kemudian satu persatu ubi singkong hasil panennya tadi dimasukkannya ke tengah api. Aku hanya memperhatikannya dari jauh.

Begitu semua sudah dianggapnya beres, ia berjalan ke arah pondok. Aku memperbaiki posisi dudukku untuk memberinya tempat untuk duduk. Ia belum melepaskan pandangannya dari unggun, dan beberapa saat kemudian sekilas ia melirik padaku,

            ‘Bagaimana lukamu?’
            ‘Sudah tidak apa-apa. Terima kasih ya.’

Ia memandangku tersenyum,’benar sudah tidak apa-apa?’

Aku mengangguk untuk meyakinkannya.
            ‘Maaf telah membuatmu kesal dengan ulahku. Aku hanya ingin kita segera sampai disini secepatnya’

            ‘Ya tapi tanpa berlari pun kita akan sampai di sini kan. Malam belum terlalu larut. Kita masih punya banyak waktu untuk bertemu bulan. Lagian sekarang, kita masih duduk disini, belum juga mengunjunginya dan kau malah menyalakan unggun. Jadi untuk apa kita terlalu bergegas tadi.’

            “Aku takkan membiarkanmu terluka hanya untuk bertemu bulan.’

Aku terheran, ‘Jadi ada apa kita sampai disini begitu cepat?’

Ia tersenyum lagi tidak menjawab.

Aku mendesaknya, ‘Hey,,ada apa?’

            ‘Hari ini aku ulang tahun’

Aku terkejut mendengar ucapannya. Tak menyangka ternyata dengan semangatnya menarik tanganku agar segera sampai di pondok ini untuk ulang tahunnya. Tak mengira kalau aku adalah tamu istimewa yang dipilihnya untuk hadir di acara ulang tahunnya. Dan tak pernah terpikir, kalau ia juga peduli dengan hari kelahiran itu.

Aku hanya terdiam di sampingnya. Aku bingung harus melakukan apa terhadap semua kejutan yang diberikannya. Harusnya aku yang memperlakukan dia istimewa di ‘hari’nya. 

            ‘Kau tak mau mengucapkan sesuatu?’ pertanyaannya mengagetkanku

Mulutku pelan membuka, ‘aku,,,hmm,,,selamat ulang tahun,,,’

Dia tergelak kecil,’kenapa salah tingkah seperti itu?’

Bibirku mengerucut,’Aku tidak tahu kau ulang tahun hari ini. jadi aku tak punya sebuah hadiah untukmu,’

            ‘Aku tidak meminta’

            ‘Ya,,tapi ulang tahun kan harus seperti itu. Aku harus memberimu sebuah hadiah. Itu sudah seharusnya. Tapi aku tidak punya apa-apa untukmu. Kau tidak bilang sih,,’

Ia tergelak lagi, ‘Kau sungguh mau memberiku hadiah?’

            ‘Andai kau memberiku kesempatan untuk mempersiapkannya.’

            ‘Tak perlu’

            ‘Apa?’ aku bertanya untuk meyakinkan apa yang baru saja ia ucapkan

Ia mengulanginya, ‘Kau tak perlu mempersiapkannya. Luka kakimu adalah hadiah untukku.’ Ia mengerling ke arahku.

Mataku membelalak membalas kerlingannya, ‘Apaaa???’

Ia terkekeh,’Sudah, lupakanlah soal hadiah. Aku tak memintanya. Aku hanya butuh kau menemaniku merayakannya malam ini. Disini. Bersama api unggun itu.’

Ia tersenyum kemudian berdiri. Sentakan kepalanya mengajakku untuk mengikutinya duduk di dekat api. Aku menurut duduk disebelahnya. Ia mengaduk-aduk api mencari ubi singkong yang tadi dibakarnya. Tanganku juga bergerak membantunya mengeluarkan singkong. Sembari menikmati singkong bakar buatannya, kami bercakap-cakap. Malam yang berbeda dari biasanya. Mungkin saat ini aku juga yang ikutan telat untuk bertemu Bulan malam ini. tapi, hey,,,aku jadi teringat sesuatu,

            ‘Hey, apakah bidadarimu tahu kau ulang tahun hari ini? kenapa tak merayakan bersamanya?’

Dia menjawab tak acuh,’hmm,,kurasa mungkin dia juga tidak tahu. Aku tidak pernah memberitahukan hari ulang tahunku padanya sebelumnya’

            ‘Trus kenapa tak kau rayakan bersamanya. Bukankah lebih menyenangkan jika kau merayakan bersamanya?’

Dia tersenyum, ‘Selalu ada waktu untuk bersamanya. Kau tak perlu khawatir. Saat ini aku ingin merayakannya denganmu.’

Aku hanya diam mendengar ucapannya. Ia terlihat kembali sibuk dengn singkong bakarnya memandang unggun. Kulihat dahinya penuh dengan peluh. Kuberikan saputangannya yang sedari tadi ada digenggamanku. 

            ‘Lap lah peluhmu. Aku tak jadi mengusap lukaku dengan saputanganmu.’
Ia menoleh ke arahku, tersenyum dan melap peluhnya dengan lengan bajunya. 

            ‘Kau simpan saja saputanganku. Mungkin di lain waktu kau membutuhkannya.’

Aku diam menurut menarik uluran tanganku. Ku pandangi dia tersenyum dan selalu tersenyum menatapku. Aku juga tersenyum sekilas membalas, kemudian ia sibuk membetulkan susunan kayu api yang sudah mulai berserak karena kayunya sudah menjadi arang. Aku ikut membantunya. Dinginnya malam, membuatku semakin erat mengenggam saputangannya. Dalam hati, aku berdoa untuknya, mudah-mudahan Rabb selalu memberikan kebahagiaan untuknya, diwaktu  pagi, petang dan malam agar ia selalu bisa tersenyum seperti biasanya.


 pict from: here

Minggu, Februari 06, 2011

Sebuah Ucapan Untuk Ceritasha


Lilin-lilin sudah merona,
Malam sudah semakin pekat hendak berganti hari,
aku tahu,
kau menantikan sebuah kalimat malam ini,

Ceritasha,,
Selamat Ulang Tahun,,
Aku mencintaimu,,,,

Salam,
Yang memilikimu


**Postingan pertama Ceritasha: Awal Sha Bercerita



Rabu, Februari 02, 2011

Perangku Belum Usai



Sampai kapan aku kan menunggu rentetan bom ini berhenti menghantam tanah sembabku
Perang ini belum berakhir juga
Tapi aku sudah lelah karenanya

Apa lagi yang masih kuperjuangkan,,

Hatiku sudah hancur berkeping2
Sudah coba kukumpulkan dan kususun
tapi hantaman peluru itu tepat mengantam pusatnya
Hingga pecah berderai

Tandus sekarang,,
Gersang,,,
Ia sudah menghancurkan segalanya,,
Menyisakan debu yang menyesakkan dan bau 

Langit kelam tak bercahaya
Aku tak tahu apakah malam sudah menjelang atau memang matahari yang tak datang
Jikapun sekarang malam telah berkuasa, kemana bulannya??

Aku ingin menemuinya dan memandanginya,,,
Akan kuluapkan dan kuceritakan semua kesahku padanya,,
Akan kuadukan semua yang menghancurkan tanah suburku
Yang membuat hatiku pecah  berderai dan jatuh dari singgasananya

Kemanakah bulan?
Aku ingin memandanginya